PEMBAHASAN
Meningitis merupakan peradangan dari
meningen yang menyebabkan terjadinya gejala perangsangan meningen seperti sakit
kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai peningkatan jumlah leukosit pada liquor
cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari gejalanya, meningitis dapat dibagi
menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan manifestasi klinis dalam
rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset
dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak
kasus, gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat
bervariasi.
Meningitis juga
dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk kepada
bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala
meningeal dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus
pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan
parasit juga dapat menyebabkan meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma,
dan amoeba.
Meningitis
aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik yang
disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan
gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit.
Setelah beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis
aseptik ini kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes
Simplex Virus (HSV).
Pada referat
ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis
merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen
oleh bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun
sejak diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe
B (HIB). Umumnya penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi
pada anak-anak usia 2 tahun.
Meningitis yg disebabkan oleh bakteri berakibat lebih
fatal dibandingkan meningitis penyebab lain karena mekanisme kerusakan dan
gangguan otak yg disebabkan oleh bakteri maupun produk bakteri lebih berat,”
kata Dr. Setyo Handryastuti, SpA, Divisi Neurologi Departemen Kesehatan Anak
RSCM-FKUI. Bakteri pneumokokus adalah salah satu penyebab meningitis terparah.
Penelitian yang diungkapkan konsultan penyakit menular dari Leicester Royal
Infirmary, Inggris, Dr Martin Wiselka, menunjukkan bahwa 20-30 persen pasien
meninggal dunia akibat penyakit tersebut, hanya dalam waktu 48 jam. Angka
kematian terbanyak pada bayi dan orang lanjut usia. Pasien yang terlanjur koma
ketika dibawa ke rumah sakit, sulit untuk bisa bertahan hidup. Infeksi
pneumokokus lebih sering terjadi pada anak dibanding orang dewasa karena tubuh
anak belum bisa memproduksi antibodi yang dapat melawan bakteri tersebut. Sebanyak
50 persen pasien meningitis yang berhasil sembuh biasanya menderita kerusakan
otak permanen yang berdampak pada kehilangan pendengaran, kelumpuhan, atau
keterbelakangan mental. Komplikasi penyakit tersebut akan timbul secara
perlahan dan semakin parah setelah beberapa bulan. Penderita meningitis perlu
mendapat antibiotik sesegera mungkin. Perawatan umumnya dilakukan selama 10-14
hari. Pengobatan panjang itu dianggap perlu untuk mencegah komplikasi atau
mencegah infeksi datang kembali. Pada kasus yang dianggap berat, diperlukan
perawatan intensif di UGD dan ketersediaan ventilasi udara untuk membantu
pernapasan.Terjadinya meningitis dapat secara langsung sebagai akibat cedera
traumatis atau secara tidak langsung dipindahkan dari tempat lain didalam tubuh
dalam cairan serebrospinalis.
Penyebab infeksi ini dapat diklasifikasikan atas : Penumococcus,
Meningococcus, Hemophilus influenza, Staphylococcus, E.coli, Salmonella. Penyebab
meningitis terbagi atas beberapa golongan umur :
1. Neonatus :
Eserichia coli, Streptococcus beta hemolitikus, Listeria monositogenes
2. Anak di bawah
4 tahun : Hemofilus influenza, meningococcus, Pneumococcus
3. Anak di atas 4
tahun dan orang dewasa : Meningococcus, Pneumococcus.
Meningitis dapat diidentifikasi
penyebabnya , berdasarkan tipe-tipe meningitis itu sendiri Seperti pada
Meningitis Purulenta yang penyebabnya antara lain : Diploccoccus
pneumoniae(pneumokok), Neisseria meningitides(meningokok), Streptoccoccus
haemolyticus, Straphyloccoccus aureus, Haemophilus influenza, Escherichia coli,
kiebsiella pneumonia,Pseudomonas aeruginosa . Kemudian pada Meningitis
Bakterial, infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
·
Aliran darah (Hematogen)karena infeksi di tempat lain seperti faringitis,
tonsillitis, endokarditis , pneumonia, infeksi gigi, Pada keadaan ini sering
didapatkan biakan kuman yang positif dalam darah, yang sesuai dengan kuman yang
ada dalam cairan otak.
·
Perluasan langsung dari infeksi ( per kontinuitatum) yang disebabkan oleh
infeksi dari sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus kavernosus.
·
Implamasi langsung :trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, fungsi
lumbal , dan mielokel.
·
Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena :
·
Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir
atau oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir.
·
Infeksi bacterial secara transpasental terutama listelia
Sebagian besar
infeksi susunan saraf pusat, terjadi akibat penyebaran hematogen. Saluran napas
merupakan port d’entrée utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta. Proses
terjadinya meningitis bacterial melalui jalur hematogen diawali dengan
perlekatan bakteri pada sel epitel mukosa nasofaring dan melakukan kolonisasi,
kemudian menembus rintangan mukosa dan memperbanyak diri dalam aliran darah dan
menimbulkanbakteremia. Selanjutnya bakteri masuk ke dalam cairan serebrospinal
dan memperbanyak diri didalamnya. Bakteri ini menimbulkan peradangan pada selaput
otak (meningen) dan otak.
Letak Penyakit meningitis Otak dan sumsum otak
belakang diselimuti meningea yang melindungi struktur syaraf yang halus,
membawa pembuluh darah dan dengan sekresi sejenis cairan yaitu cairan serebrospinal.
Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:
a. Pia meter : yang
menyelipkan dirinya ke dalam celah pada otak dan sumsum
tulang belakang dan sebagai akibat dari kontak yang
sangat erat akan menyediakan darah untuk struktur-struktur ini.
b. Arachnoid :
Merupakan selaput halus yang memisahkan pia meter dan dura
meter.
c. Dura meter :
Merupakan lapisan paling luar yang padat dan keras berasal dari
Jaringan ikat tebal dan kuat.
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis
media, mastoiditis, trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan
defisiensi imun lainnya.
PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada
inang. Kolonisasi dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan,
saluran pencernaan, atau saluran kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri
akan menginvasi submukosa dengan menghindari pertahanan inang (seperti barier
fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah akses menuju sistem
syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:
Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan
menyebabkan penyebaran secara hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari
penyebaran bakteri. Penyebaran melalui kontak langsung, misalnya melalui
sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma, inokulasi langsung
selama manipulasi intrakranial.
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha
menghindar dari pertahanan imun ( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem
komplemen). Kemudian terjadi penyebaran hematogen ke perifer dan organ yang
letaknya jauh termasuk SSP.
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi
bakteri ke dalam SSP sampai sekarang belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP,
bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena terbatasnya jumlah sistem
imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali dan merangsang
kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari sitokin
yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8),
dan molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan
neuronal. Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri
khas meningitis bakterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit,
makrophag) terhadap produk yang dihasilkan bakteri selama replikasi dan
kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan mediator proinflamasi.
Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh ligasi
komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali
reseptor (Toll-like receptor)
TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag,
limfosit, astrosit, dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen
endogen juga berperan dalam induksi demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator
ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi endotosin intrasisternal.
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide
(NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet activation factor (PAF) diduga memperberat
proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase akut sebagai respon dari
infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO merupakan
molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam
jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB).
PAF dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di
intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular
dan terjadi peningkatan permeabelitas BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai
komponen darah ke dalam ruang subarachnoid. Hal ini menyebabkan terjadinya
edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai respon terhadap molekul
sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah menuju ke
BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk
meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk
komponen plasma ke dalam ruang subarachnoid dan melambatnya aliran vena
sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk degradasi bakteri,
neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam
menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan pengurangan aliran darah
otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan mengakibatkan
peningkatan konsentrasi laktat danhypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia merupakan
hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak
terkendali ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal
sementara atau pun permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting
dari meningitis di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial
(sekunder terhadap obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan
produk toksik bakteri dan neutrofil) serta edema vasogenik (peningkatan
permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline
shift dengan adanya penekanan pada tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini
akan menimbulkan herniasi gyri parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis
keadaan ini ditunjukkan oleh adanya penurunan kesadaran dan reflek postural,
palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati maka terjadi
dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas
atau henti jantung.
FREKUENSI
Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control
and Prevention 2003, kasus meningitis terbanyak pada usia 15-24 tahun
(20,4%). Pada anak usia
1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .
Di Amerika Serikat, sebelum
penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-30.000
kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4
kasus/100.000 anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus
pneumoniaemeningitis adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi
meningitis pada neonatus adalah 0,25-1 kasus/1000 kelahiran hidup. Pada
kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000 kelahiran aterm sedangkan
pada kelahiran preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran preterm. Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum berhubungan
dengan meningitis bakterial.
MORTALITAS-MORBIDITAS
Sebelum ditemukannya antimikroba,
mortalitas akibat meningitis bakterial cukup tinggi. Dengan adanya terapi
antimikroba, mortalitas menurun tapi masih tetap dikhawatirkan tinggi.
19-26% mortalitas diakibatkan karena meningitis olehSterptococcus
pneumoniae, 3-6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% olehNeisseria
meningitidis. Rata-rata mortalitas paling tinggi
pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi pada
usia tua.
RAS
Insidensi rata-rata lebih tinggi
pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan pada populasi Kaukasia dan
Hispanik.
JENIS KELAMIN
Bayi laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram
negatif dibanding bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap
meningitis olehListeria monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis
oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama untuk bayi perempuan
maupun laki-laki.
USIA
Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang
dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada anak
dengan usia kurang dari 2 tahun.
GEJALA KLINIS
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi
gejala sebagai berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis,
febris, hipotermia, konvulsi, ikterik, ubun-ubun menonjol, pucat, shock,
hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala klinis pada bayi dan
anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku kuduk,
opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia,
cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea,
vomitus, koma, febris umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang
berat dapat hipotermia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
● Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai
koma,
biasanya disertai febris dan
fotofobia.
● Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada
kurang lebih 50% penderita
meningitis
bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum
dapat disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan
petunjuk yang sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada anak yang sangat muda,
debilitas, bayi malnutrisi.
● Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang
menyerang syaraf.
● Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder
terhadap inflamasi vaskuler dan
trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap hospitalisasi
dan timbulnya sekuelae jangka panjang.
● Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan
yang
memanjang dan tidak terkendali
khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi merupakan faktor yang
memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.
● Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan
tekanan
darah disertai bradikardia dan palsy
nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif diagnosis yang mungkin
seperti abses otak.
● 6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular
Coagulation)
● Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP
fokal dan
sistemik (seperti febris) yang
memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada ruang
subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.
● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap
etiologi meningitis:
› Makula dan petekiae yang cepat
berkembang menjadi purpura dapat
memberikan petunjuk adanya
meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.
› Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea
menunjukkan
adanya kebocoran LCS yang disebabkan
oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atauHaemophilus
influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis
cranii.
› Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder
terhadap pertumbuhan bakteri di
meningen.
ETIOLOGI
* Etiologi meningitis neonatal
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di
mana flora usus gram negatif (Escherichia coli) dan Streptococcus grup B
adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang menerima berbagai terapi
antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkan Staphilococcus
epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab
meningitis. Listeria monocytogenes merupakan patogen yang
jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan mortalitas.
Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang
terjadi dalam 7 hari pertama kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi
obstetri sebelum atau saat persalinan. Penyakit ini sering menyerang bayi
preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Meningitis onset
lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan oleh
patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal.Streptococcus grup
B serotipe 3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko
meningitis oleh Serratia marcescens, Pseudomonas aeruginosa dan Proteus
mirabilis. Infeksi olehCitrobacter diversus dan Salmonella
sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita
yang juga menderita abses otak.
* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering
adalah Streptococcus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Haemophilus
influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi tersering tetapi
sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin konjugasi
secara rutin.
› Streptococcus pneumoniae meningitis
Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan
diplokokus gram positif dan penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe,
serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis yang sering dihubungkan dengan
dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia dapat terpapar tetapi
insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan lansia.
Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau
pneumonia. Pada penderita
meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma kepala atau
kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis
pada penderita sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia
anatomis atau fungsional. Patogen ini membentuk kolonisasi pada saluran
pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar manusia dengan kontak
langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak pada musim
dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran
sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Pengobatan antimikroba efektif
mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam 24 jam. Pneumococcus
membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba. Resistensi terhadap
penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan dalam enzim
yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin pada
bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus
yang resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap
cotrimoxazole, tetrasiklin, chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin
generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini merupakan pilihan karena mampu
menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten. Beberapa golongan
fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan
kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan
kebanyakan pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.
› Neisseria meningitidis meningitis
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan
sering ditemukan intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis
berdasarkan kapsul polisakarida. Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe
yang menyebabkan 15-25% kasus meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas
sering dikolonisasi oleh patogen ini dan ditularkan antar manusia melalui
kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran pernapasan, dan sering
pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4 hari, dengan
kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen
terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded,
penyakit kronis, penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi
tertinggi kedua adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering
dijumpai. LCS pada meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran
normoseluler. Kematian umumnya terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada
penderita dengan prognosis buruk yang ditandai dengan gejala hipotensi, shock,
netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12 jam, DIC, asidosis,
adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.
› Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari
kokobasiler sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi
pada anak-anak yang belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi
pada anak-anak usia 1 bulan-3 tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak
yang belum pernah diimunisasi HIB telah memperoleh antibodi secara alamiah
terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi efek protektif. Penularan
dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi
saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi
pada beberapa hari awal penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah
resisten terhadap ampicillin karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak
30% kasus menyebabkan sekuelae jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone
dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae.
› Listeria monocytogenes meningitis
Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak
immunocompromised. Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang
terkontaminasi (susu dan keju). Kebanyakan kasus disebabkan oleh serotipe Ia,
Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan Listerial meningitis cenderung tersamar
dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada pemeriksaan laboratorium,
patogen ini sering disalahartikan sebagai Streptococcus hemolyticus atau
diphteroid.
› Etiologi lain-lain
Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada penderita
dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang immunocompromised
sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia,
Proteus dan diphteroid.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
1.
Abses otak
2.
Tumor otak
3.
Vaskulitis SSP
4.
Lead encephalopathy
5.
Meningitis fungal
6.
Meningitis tuberculosis
7.
Tuberculoma
8.
Stroke
9.
Encephalitis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik.
Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi bakteri dari LCS dengan metode
lumbal punksi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai oleh pleositosis,
peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS
(opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk
dinilai. Jika LCS tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa
menunggu hasil pemeriksaan LCS.
Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka
perlu dipertimbangkan pemberian terapi tanpa melakukan lumbal punksi.
Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat tekanan intrakranial
terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI sangat
membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan
intrakranial dan herniasi.
Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi
(glukosa, protein), jumlah total leukosit dan hitung jenis (differential
count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test rapid bacterial
antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL dengan
kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada
penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. Pemeriksaan
lumbal punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan
memiliki respon imun yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan
kimiawi dan sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi
peningkatan jumlah leukosit yang didominasi oleh sel Polimorfonuklear (PMN)
pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi. Pewarnaan gram dari cytocentrifuged LCS
dapat memperlihatkan morfologi bakteri. Spesimen LCS harus langsung dikultur
pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah juga perlu dilakukan.
Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab dengan
pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat
memperlihatkan gambaran mikroorganisme intraseluler.
Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk
mendeteksi antigen bakteri pada cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi
antigen bakteri dapat diperoleh dari spesimen LCS, darah atau urin. Test jenis
ini bermanfaat pada penderita meningitis dengan riwayat pengobatan belum
lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat
berkembang biak pada LCS tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh
penderita.
Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus
karena urin dapat dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium.
Beberapa bakteri gram negatif danS. pneumoniae serotipe tertentu
yang memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang dengan
poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik
dibandingkan rapid diagnostic test.
PARTIALLY TREATED MENINGITIS (PTM)
Beberapa anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan.
Dosis kecil antimikroba oral atau bahkan pemberian antimikroba secara intravena
dosis tunggal tidak mengubah hasil pemeriksaan LCS termasuk kultur bakteri
khususnya pada penderita HIB meningitis.
Hasil kultur dari spesimen LCS dapat menjadi steril
secara cepat jika patogen penyebabnya adalah pneumococcus atau meningococcus walaupun
perubahan sitologis dan kimiawi tetap eksis. Karena hal ini maka diperlukan
test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila terjadi kesulitan untuk
membedakan antara PTM dengan meningitis viral (aseptik) maka lumbal punksi
dapat diulang dalam rentang waktu 24 jam. Pada kasus meningitis viral,
pleositosis LCS dan perubahan kimiawi cenderung untuk kembali menuju nilai
normal.
PENATALAKSANAAN
*Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis
mengarah ke meningitis. Idealnya kultur darah dan LCS dilakukan sebelum
pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi dengan menggunakan ventilator
atau menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut berbahaya maka lumbal
punksi dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang dilakukan
beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada
pemeriksaan kimiawi dan sitologis.
Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu
dilakukan. Neonatus dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam
keadaan hiponatremia yang berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini
juga berperan dalam memicu terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama.
Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5% diberikan sampai elektrolit serum pada
neonatus mencapai normal.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap
edema serebral jarang terjadi pada bayi tetapi tetap diperlukan pemantauan
analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang adekuat dan stabilitas
metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol,
USG, atau CT scan dengan kontras diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya
kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah sembuh dari meningitis perlu
dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan pendengaran.
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis
bakterial akut meliputi terapi antimikroba yang adekuat serta terapi suportif.
Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan: memperhatikan tanda-tanda vital
dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan output yang akurat,
penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk mengurangi
perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500
ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin dan agen inotropik
lainnya dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang
adekuat.
*Terapi antimikroba untuk neonatus
Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif
terapi antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan
aminoglikosida. Ampicillin memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram
positif termasukStreptococcus grup B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa
strainEscherichia coli, HIB dan dapat mencapai kadar adekuat dalam LCS.
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin,
tobramycin baik dalam melawan basil gram negatif termasuk Pseudomonas
aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida memiliki kadar
rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang
mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS
dengan kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif.
Pada suatu percobaan didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan
bilirubin dalam mengikat albumin. Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi
konsentrasi cadangan albumin pada serum neonatus sebanyak 39% sehingga
ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin encephalopathy khususnya pada
neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan bahwa tak satu pun
cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan Enterococcussehingga
obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi inisial.
Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC
(minimum inhibition concentration) yang sangat rendah maka ampicillin dapat
dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan ceftriaxone memberikan
aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniaeyang resisten
terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk
penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas
antimikroba dilakukan.
Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin
digunakan secara luas disertai kombinasi dengan ampicillin. Pemberian
gentamycin secara intrathecal dianggap tidak memberikan keuntungan tambahan.
Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau penicillin juga memiliki
efek sinergis melawan Streptococcus grup B danEnterococcus.Tidak
jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan penicillin
atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya resistensi.
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus,
Pseudomonas aeruginosa memerlukan antimikroba lain seperti oxacillin,
methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan aminoglikosida.
Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi,
biasanya terapi selama 10-21 hari adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi
memerlukan waktu lama untuk mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu
sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama terapi mungkin diperlukan
untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS berguna dalam
48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap terapi,
khususnya meningitis oleh basil gram negatif.
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak
Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita
dengan suspek meningitis bakterial sangat penting. Pemilihan antibiotik inisial
harus memiliki kemampuan untuk melawan 3 patogen umum yaitu: S.pneumoniae,
N. meningitidis, H. influenzae. Umumnya terapi dimulai dengan pemberian
vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam.
Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari
sekali/hari dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik
dalam melawan S. pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus
influenzae tipe B yang resisten beta-laktamase. Ceftazidime memiliki
aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan harus diganti dengan
cefotaxime atau ceftriaxone.
Beberapa evidence-based medicine menyarankan
penggunaan carbapenem (misalnya meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang
resisten terhadap cephalosporin. Peran antibiotik baru seperti oxazolidinone
(linezoid) masih dalam penelitian.
Karena penetrasi antibiotik ke
dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan sifat kortikosteroid yang
mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat mengurangi
efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil.
Sehingga petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian
pemberian kortikosteroid pada terapi meningitis.
Semua antibiotik diberikan secara
intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS adekuat. Pemberian secara
intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak dapat dilakukan.
Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik dalam serum dan
diberikan hanya jika tidak tersedia obat-obat lain, pada keadaan penderita yang
stabil, dan keluhan mual muntah berkurang.
Pada penderita dengan riwayat
alergi yang bermakna penggunaan kombinasi vancomycin dan chloramphenicol perlu
dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping chloramphenicol tidak diinginkan maka
dapat diganti dengan cotrimoxazole atau trovafloxacin.
Penggunaan antibiotik beta
lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam, sulbactam untuk mengobati
meningitis belum dianjurkan karena masih kurangnya data mengenai daya
penetrasinya ke dalam SSP.
Penggunaan antibiotik diteruskan
paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadang-kadang diulang sebelum penghentian
terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi. Tetapi pemeriksaan ulang ini
tidak dapat memprediksi adanya relaps atau rekrudesensi meningitis. Misalnya
HIB dapat terus bertahan dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi
meningitis yang berhasil. Karena alasan ini, penderita perlu diberi rifampin 20
mg/kg sekali/hari selama 4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di rumah
atau tempat perawatan anak. Sedangkan S. pneumoniae dan N.
meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah terapi
meningitis berhasil.
Phlebitis pada tempat penyuntikan
dan febris karena antibiotik adalah beberapa penyebab umum febris sekunder pada
penderita meningitis sehingga penderita dengan febris perlu untuk dievaluasi
ulang.
*Pemberian dexamethasone
Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari
dexamethasone ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi
dexamethasone (0,15 mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik.
Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam selama 4 hari. Dalam 24 jam, kondisi
klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna. Pemantauan yang dilakukan
sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae neurologis dan
audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan dengan kegunaan
dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniaemeningitis kurang
meyakinkan. Selain mengurangi reaksi inflamasi, pemberian dexamethasone dapat
menurunkan penetrasi antibiotik ke SSP.
*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi
Peningkatan tekanan intrakranial meningkatkan
mortalitas dan sekuelae secara signifikan. Gejala awal dari peningkatan tekanan
intrakranial tidak spesifik di antaranya vomitus, stupor, bulging fontanelle,
palsy nervus VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat
mengalami herniasi otak. Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan
anisokor, gangguan pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea,
dekortikasi atau deserebrasi.
Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat
meningkatkan secara transien osmolalitas ruang intravaskular, menyebabkan
perpindahan cairan dari jaringan otak ke dalam ruang intravaskular. Manitol
(0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan pemberiannya dapat
diulang bila diperlukan.
Dexamethasone sudah sering digunakan untuk
mengurangi tekanan intrakranial tetapi data terbaru tidak mendukung efikasi
dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan furosemid juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK
tetapi efikasinya pada penderita meningitis belum dapat ditunjukkan pada controlled
trials.
*Antikonvulsi
Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih
30% penderita. Jalan napas yang adekuat dan oksigenasi juga dibutuhkan selama
terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara intravena. Phenobarbital natrium
dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit cukup efektif dalam
mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena kadar
adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang
berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan
kecepatan rata-rata 1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk kejang.
Jika obat-obat tersebut di atas
tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium) diberikan secara bolus
intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek
antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5
mg/kg/hari IV tiap 12 jam untuk mencegah timbulnya bangkitan kejang
selanjutnya. Lorazepam (Ativan) yaitu suatu benzodiazepin kerja lama juga aman
untuk diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi
harus hati-hati karena obat tersebut dapat menyebabkan henti napas atau
jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin.
Phenobarbital dan phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga
dapat meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika
penderita tetap kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan
intrakranial perlu dilakukan pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis
Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak
dengan penderita perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi
terhadap sulfonamid maka obat pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone,
ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai profilaksis pada keadaan tertentu
di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah kemoprofilaksis
adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang yang kontak dengan
penderita harus segera mencari pertolongan medik saat timbul gejala pertama
kali. Dosis rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari.
* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu
yang kontak dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih
muda kontak dengan penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa
memedulikan status imunisasinya. Yang dimaksud dengan ‘kontak’ adalah seseorang
yang tinggal pada rumah yang sama dengan penderita atau seseorang yang telah
menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari dengan penderita tersebut
selama 5-7 hari sebelum diagnosis ditegakkan.
Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi
tempat pelayanan kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu
diberi profilaksis.
* Imunisasi
Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan
penurunan dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug
Administration) telah meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama
(Prevnar) pada April 2000. Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang
mengandung antigen dari 7 subtipe pneumococcal.
Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis
saat adanya wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y,
W-135 dianjurkan untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan
imunodefisiensi, penderita dengan asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi
komponen terminal komplemen. Vaksin ini terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri
yang telah dimurnikan. The
Advisory Committee on Imunization Practices (ACIP) menganjurkan penggunaan
vaksin ini untuk siswa sekolah yang tinggal di asrama-asrama.
KOMPLIKASI
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi
tergantung etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat
berskala jangka panjang sangat penting untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis,
hipertonia otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar,
hidrocephalus non-komunikan, atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone
dapat mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan
pendengaran berat dapat menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi
audiologis rutin dan pemantauan perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke
petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae motorik maka perlu dilakukan terapi
fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari kerusakan di kemudian hari
dan mengoptimalkan fungsi motorik.
PROGNOSIS
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko
tinggi mendapatkan sekuelae atau resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu
episode meningitis merupakan faktor resiko adanya sekuelae neurologis atau
mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae, L.
monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih
tinggi daripada meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang
disebabkan oleh patogen oportunistik juga bergantung pada daya tahan tubuh
inang.